Senin, 01 Mei 2017

Sejarah DKI Djakarta Tempo Dulu



 
Sejarah Jakarta

Jakarta bermula dari sebuah bandar kecil di muara Sungai Ciliwung sekitar 500 tahun silam. Selama berabad-abad kemudian kota bandar ini berkembang menjadi pusat perdagangan internasional yang ramai. Pengetahuan awal mengenai Jakarta terkumpul sedikit melalui berbagai prasasti yang ditemukan di kawasan bandar tersebut. Keterangan mengenai kota Jakarta sampai dengan awal kedatangan para penjelajah Eropa dapat dikatakan sangat sedikit.

Laporan para penulis Eropa abad ke-16 menyebutkan sebuah kota bernama Kalapa, yang tampaknya menjadi bandar utama bagi sebuah kerajaan Hindu bernama Sunda, beribukota Pajajaran, terletak sekitar 40 kilometer di pedalaman, dekat dengan kota Bogor sekarang. Bangsa Portugis merupakan rombongan besar orang-orang Eropa pertama yang datang ke bandar Kalapa. Kota ini kemudian diserang oleh seorang muda usia, bernama Fatahillah, dari sebuah kerajaan yang berdekatan dengan Kalapa. Fatahillah mengubah nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta pada 22 Juni 1527. Tanggal inilah yang kini diperingati sebagai hari lahir kota Jakarta. Orang-orang Belanda datang pada akhir abad ke-16 dan kemudian menguasai Jayakarta.

Nama Jayakarta diganti menjadi Batavia. Keadaan alam Batavia yang berawa-rawa mirip dengan negeri Belanda, tanah air mereka. Mereka pun membangun kanal-kanal untuk melindungi Batavia dari ancaman banjir. Kegiatan pemerintahan kota dipusatkan di sekitar lapangan yang terletak sekitar 500 meter dari bandar. Mereka membangun balai kota yang anggun, yang merupakan kedudukan pusat pemerintahan kota Batavia. Lama-kelamaan kota Batavia berkembang ke arah selatan. Pertumbuhan yang pesat mengakibatkan keadaan lilngkungan cepat rusak, sehingga memaksa penguasa Belanda memindahkan pusat kegiatan pemerintahan ke kawasan yang lebih tinggi letaknya. Wilayah ini dinamakan Weltevreden. Semangat nasionalisme Indonesia di canangkan oleh para mahasiswa di Batavia pada awal abad ke-20.

Sebuah keputusan bersejarah yang dicetuskan pada tahun 1928 yaitu itu Sumpah Pemuda berisi tiga buah butir pernyataan , yaitu bertanah air satu, berbangsa satu, dan menjunjung bahasa persatuan : Indonesia. Selama masa pendudukan Jepang (1942-1945), nama Batavia diubah lagi menjadi Jakarta. Pada tanggal 17 Agustus 1945 Ir. Soekarno membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta dan Sang Saka Merah Putih untuk pertama kalinya dikibarkan. Kedaulatan Indonesia secara resmi diakui pada tahun 1949. Pada saat itu juga Indonesia menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada tahun 1966, Jakarta memperoleh nama resmi Ibukota Republik Indonesia. Hal ini mendorong laju pembangunan gedung-gedung perkantoran pemerintah dan kedutaan negara sahabat. Perkembangan yang cepat memerlukan sebuah rencana induk untuk mengatur pertumbuhan kota Jakarta. Sejak tahun 1966, Jakarta berkembang dengan mantap menjadi sebuah metropolitan modern. Kekayaan budaya berikut pertumbuhannya yang dinamis merupakan sumbangan penting bagi Jakarta menjadi salah satu metropolitan terkemuka pada abad ke-21.

* Abad ke-14 bernama Sunda Kelapa sebagai pelabuhan Kerajaan Pajajaran.
* 22 Juni 1527 oleh Fatahilah, diganti nama menjadi Jayakarta (tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari jadi kota Jakarta keputusan DPR kota sementara No. 6/D/K/1956).
* 4 Maret 1621 oleh Belanda untuk pertama kali bentuk pemerintah kota bernama Stad Batavia.
* 1 April 1905 berubah nama menjadi 'Gemeente Batavia'.
* 8 Januari 1935 berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
* 8 Agustus 1942 oleh Jepang diubah namanya menjadi Jakarta Toko Betsu Shi.
* September 1945 pemerintah kota Jakarta diberi nama Pemerintah Nasional Kota Jakarta.
* 20 Februari 1950 dalam masa Pemerintahan. Pre Federal berubah nama menjadi Stad Gemeente Batavia.
* 24 Maret 1950 diganti menjadi Kota Praj'a Jakarta.
* 18 Januari 1958 kedudukan Jakarta sebagai Daerah swatantra dinamakan Kota Praja Djakarta Raya.
* Tahun 1961 dengan PP No. 2 tahun 1961 jo UU No. 2 PNPS 1961 dibentuk Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya.
* 31 Agustus 1964 dengan UU No. 10 tahun 1964 dinyatakan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Raya tetap sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan nama Jakarta.
* Tahun1999, melalaui uu no 34 tahun 1999 tentang pemerintah provinsi daerah khusus ibukota negara republik Indonesia Jakarta, sebutan pemerintah daerah berubah menjadi pemerintah provinsi dki Jakarta, dengan otoniminya tetap berada ditingkat provinsi dan bukan pada wilyah kota, selain itu wiolyah dki Jakarta dibagi menjadi 6 ( 5 wilayah kotamadya dan satu kabupaten administrative kepulauan seribu).





Stad Batavia (1)

Seandainya Fatahillah memperbaharui Perjanjinan Sunda Kelapa dari tahun 1522 dan penguasa di Banten serta Jayakarta tidak mengijinkan musuh bebuyutan Potugis, yaitu VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) Belanda, membangun gudang di tepi Ciliwung, mungkin sekali sejarah Pulau Jawa tidak begitu parah, demikian R.Mantas Sembiring (Seribu Wajah Jakarta) dan H.M. Ambary (The Establishment of Islamic Rule in Jayakarta). Sebab, Portugis di seluruh Asia tak berdaya dan tidak pernah menguasai tanah yang luas, melainkan ingin menguasai beberapa bandar saja sebagai tempat berdagang. Hal ini dilakukan Portugis di Goa, Malaka, Ternate, Dili dan Macau.

Terlepas dari itu semua, Jayakarta kala itu memang menarik begitu banyak peminat. Terutama karena hasil ladanya yang sangat bagus dan daerahnya relatif tenang serta aman. Karena itu, dua persekutuan dagang raksasa dunia kala itu, yaitu Belanda dan Inggris yang senantiasa bersaing untuk mendapatkan simpati dari penguasa Sunda Kelapa. Demikian juga dengan Portugis sendiri yang kembali lima tahun kemudian setelah 1526/1527.

Adalah Lopo Alverez, yang mengunjungi pelabuhan Sunda Kelapa dan mendapatkan kuasa untuk mengamankan hak perdagangannya di kawasan itu. Kuasa yang di-akte notaris-kan itu dibuat di Malaka pada 9 Januari 1532 dan kini disimpan dalam arsip Torre do Tombo di Lisbon. Ini dikuatkan pula oleh Fernao Mendez Pinto (Peregrinicao), yang sebagaimana disimpulkan A.Heuken SJ, bahwa pada waktu itu (1544) orang Portugis sudah terbiasa berdagang dengan Banten (dan Kelapa), atau berarti permusuhan 17 tahun sebelumnya (1526/1527) tidak berlangsung terlalu lama.

Adapun ketertarikan kongsi dagang Belanda dan Inggris terhadap Sunda Kelapa sebetulnya diawali dari informasi Linschoten. Jan Huygen van Linschoten, demikian nama lengkapnya, secara diam-diam menyalin berbagai sumber dan peta Portugis sewaktu bekerja untuk uskup agung di Goa (1583-1589) yang kemudian diterbitkannya dengan judul Itinerario. Apa yang dilakukan Linschoten ini telah menyebabkan kaum pedagang di beberapa kota Belanda mengumpulkan modal untuk bersama-sama mengirim beberapa kapal ke Jawa dan Maluku (1595). Mereka ingin memasuki pasaran rempah-rempah. Dan, pada 2 April 1595, berangkatlah empat kapal dari Belanda yang dipimpin Cornelis de Houtman dan singgah di Banten antara 22 Juni sampai 7 Juli 1596 serta tiba di Jayakarta pada 13 November 1596. Sementara kapal Inggris pertama kali singgah di Jayakarta pada 1602.

Tentang pusat kekuatan, kala itu, Bantenlah yang menjadi pusat. Hanya saja, kondisi Banten kemudian mengalami kekacauan sejak 1602 dan mencapai puncaknya pada 1608. Dan karena itu, Belanda maupun Inggris mulai mendekati pangeran Jayakarta supaya mereka diperbolehkan memindahkan kantor, gudang dan markas mereka ke negeri Jayakarta yang lebih teratur.

Negosiator Belanda itu adalah Kapten Jacques L’Hermite, wakil perusahaan di Banten yang bertindak atas instruksi Pieter Both, Gubernur Jenderal VOC pertama. Adapun perjanjian itu ditandatangani secara resmi pada 18/28 Januari 1611 di Jayakarta. Perjanjian ini kemudian diperbaharui pada 21 Oktober 1614 yang ditandatangi Gubernur Jenderal Rijnst, yang memasukan tambahan izin untuk membongkar rumah-rumah Tionghoa yang terlalu dekat dengan gudang Belanda. Dan, inilah berita penggusuran rumah penduduk pertama di Jakarta.

Adapun hasil perundingan L’Hermite dengan Pangeran Jayawikarta, putera Pangeran Tubagus Angke, adipati Jayakarta II (1670-1600), adalah persetujuan untuk membangun sebuah rumah kayu dan batu untuk pangkalan niaga. Dengan membayar 1.200 ringgit (real?) orang Belanda mendapatkan tanah seluas 50 x 50 depa dekat muara di pinggir timur Ciliwung. Di tempat ini, di pinggir kampung Cina, mereka boleh membangun apa yang dengan berbagai istilah disebut rumah (huis), tempat berkumpul (loge) atau kantor dagang (factorij). Bangunan yang kemudian disebut Nassau Huis (Rumah Nassau) itu dilengkapi dengan sebuah bangunan yang lebih kecil, tak jauh dari sana, yang kemudian dikenal sebagai Rumah Kapten Watting, saudagar menetap yang pertama.







Stad Batavia (2)

Di tangan Jan Pieterszoon Coen (1587-1629), Nassau Huis (1610-1613), ditingkatkan kualitasnya dan bahkan ia juga membangun gedung kembarannya, Mauritius Huis (1617-1623). Antara kedua gedung ini kemudian dibangun sebuah tembok batu, dan di atas tembok ini dideretkan beberapa buah meriam. Coen, juga memperbesar regu penjagaannya yang terdiri dari 25 orang menjadi 50 orang yang dipersenjatai secara kuat dengan senapan musket dan arquebuses. Bangunan-bangunan ini kemudian menjadi serupa benteng segi empat di tangan Piere de Carpentier, yang menjabat Gubernur Jenderal selama Coen bepergian ke Maluku mencari bantuan. Dinding-dindingnya, setinggi 6 – 7,5 meter, terbujur 150 meter sepanjang pinggir sungai dan sama panjangnya membujur ke pedalaman. Dinding-dinding ini berhadapan dengan tembok batu, sama halnya dengan tanggul-tanggul tanah liat yang letaknya agak kejauhan, yang kemudian akan menjadi dinding-dinding kota dengan di dalamnya dikenal sebagai Kasteel Jakatra (Kastil Jakarta).

Apa yang dilakukan Coen ini, makin mempertajam persaingannya dengan Inggris dan juga Jayakarta. Persaingan ini mencapai puncaknya pada Desember 1618. Dan, Pieter van den Broecke, komandan benteng Belanda pun ditangkap tentara Pangeran Jayawikarta yang kala itu dibantu armada Inggris pimpinan Sir Thomas Dale. Namun, pada bulan Februari 1619 Sultan Banten (Pangeran Rananenggala) yang adalah atasan Pangeran Jayawikarta menggeser (memecat) penguasa Jayakarta dan mengasingkannya ke Tanara (Citanara).

Tentu saja, orang Belanda merasa lega dan berusaha mengeratkan hubungan (sementara) dengan Banten. Garnisun benteng, yang terdiri dari orang Belanda dan sewaan Jepang, Jerman, Perancis, Skotia, Denmark dan Belgia merayakan perubahan situasi ini dengan pesta meriah. Mereka pun kemudian menamai benteng ini dengan Batavia (12 Maret 1619), untuk mengenang suku bangsa Germania, yang disebut C.J. Caesar, dalam bukunya Bellum Gallicum (50 SM), yaitu suku bangsa Batavir yang menghuni daerah di sekitar mulut Sungai Rhein. Suku Batavir, dianggap leluhur orang Belanda.

Dari benteng di tepi timur Ciliwung itu, tentara Belanda di bawah JP Coen menyerang dan menghancurkan kota serta kraton Jayakarta, pada 30 Mei 1619. Sejak itu pula, Belanda praktis menguasai bandar Jayakarta. Dan kemudian, VOC mendirikan Koninkrijk Jacatra (Kerajaan Jakarta, yang tidak lagi ada rajanya kecuali Coen).

Adapun nama Batavia untuk kasteel dan kota baru disahkan pada 1620, untuk kemudian dikukuhkanlah sebuah pemerintahan (Stad) Batavia pada 4 Maret 1621. Dan, sejak saat itu pula, Jayakarta disebut Batavia selama tiga ratus tahun lebih (1619-1942).

Kini, tiada satu pun yang tersisa dari Sunda Kelapa atau Jayakarta, kecuali namanya, batu padrao di Museum Nasional dan mungkin makam Pangeran Jayawikarta. Tentang situasi dan luas kota Jayakarta yang dihancurkan JP. Coen juga agak sulit ditentukan. Tetapi, menurut perkiraan, lokasi dan luasnya terentang di antara Jl. Tiang Bendera Raya, Kali Besar, Jl. Roa Malaka dan Jl. Semut – Penjaringan – Roa Malaka II. Pusat Jayakarta terletak di sebelah utara dan selatan Jl. Kopi di tepi Ciliwung atau kurang lebih seratus meter di sebelah barat-laut Balai Kota lama atau Museum Sejarah Jakarta sekarang. Penduduk Jayakarta kala itu, kurang lebih sepuluhribu orang, yang terdiri dari ‘Orang Banten’ (berasal dari Demak dan Cirebon) yang menggantikan orang Sunda, saudagar Arab dan Tionghoa. Dan, mereka ini, kecuali orang Tionghoa kemudian mengundurkan diri ke daerah Kesultanan Banten waktu Batavia menggantikan Jayakarta.












Betawi, Batavia dan Batafiiya
01/07/2010

Jakarta - Dalam 483 tahun, sebuah pedusunan nelayan di pinggir laut utara Jawa, sudah menjelma menjadi kota metropolitan paling padat dan paling ramai di Indonesia. Daerah yang kini bernama Jakarta ini pernah memiliki sederet nama panggilan, termasuk nama Betawi yang berakar dari berbagai peleburan budaya.

Jakarta selama ratusan itu pula telah menjadi tempat akulturasi berbagai kebudayaan para penduduknya yang datang dari berbagai daerah. Kebudayaan Betawi pun dibentuk dalam proses panjang akulturasi aneka kebudayaan, termasuk asal kata Betawi yang juga merupakan serapan budaya.

Pengaruh paling besar dari nama Betawi tentu saja nama kota Jakarta di masa kolonial Belanda: Batavia. "Memang Betawi merupakan kata dari kata Batavia," ujar pengamat sejarah Jakarta, Alwi Shahab kepada detikcom, Senin (28/6/2010) lalu.

Lalu darimana asal kata Batavia? Dosen Fakultas Sastra UI, Lilie Soeratminto, mengatakan Batavia mengacu kepada klan atau kelompok masyarakat yang berasal dari kawasan Betuwe, Gerdeland, Belanda. Mereka disebut orang-orang Bataaf. Hanya saja, Liliek juga belum bisa memberikan keterangan apa makna dari Batavia atau orang Bataaf.

"Makanya sebutan Batavieren adalah sebutan orang-orang dari suku Bataaf. Ini bahasa Belanda. Sedangkan, Bataviaasch itu adalah kata sifat dari Batavia. Nama Batavia itu mengacu pada nama suku bangsa atau nenek moyang bangsa Belanda," jelasnya kepada detikcom beberapa waktu lalu.

Ada juga pendapat lain mengatakan Betawi merupakan turunan dari bahasa Arab, salah satu etnis utama yang membentuk kebudayaan Betawi selain etnis Tionghoa. Ada kata 'bata' yang turun dari asal kata 'bataka' yang berarti 'memotong'. Lalu ada 'fiiya' yang berarti 'di dalam diri'. 'Batafiiya' merujuk pada konstruksi masyarakat di dalam daerah Sunda Kelapa saat itu yang terpotong-potong atas berbagai etnis yang ada di sana. Berbagai etnis ini bagaikan mosaik yang lalu menyusun sebuah masyarakat Betawi.

Jakarta selama 483 tahun berubah dari awalnya sebuah daerah nelayan bernama Sunda Kelapa pada zaman Kerajaan Pajajaran. Lalu berubah menjadi Jayakarta Wijaya Krama ketika kota ini dibebaskan dari kekuasaan Portugis oleh balatentara Cirebon plus Demak yang dipimpin Fadillah Khan alias Fatahillah, menantu Sunan Gunung Jati. Ketika VOC menguasai perdagangan di daerah ini, sang Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen menamai daerah itu Batavia. Lidah masyarakat lalu menyebutnya Betawi. Nama Jakarta akhirnya dipakai sebagai nama modern Ibukota sampai sekarang.